Rabu, 04 November 2015

Adakah yang tega menampar anaknya saat menangis minta sesuatu?

Orang tua mana yang tega menampar anaknya sendiri saat dia menangis?
bisa jadi nangis karena kelaparan, menangis karena keresahan, kegundahan, atau bahkan berontak karena rasa tak nyaman?

Tapi kenyataannya sekarang memang ada juga type orang tua yang kejam terhadap anak kandungnya sendiri. Anaknya lapar minta makan malah di omelin, disuruh cari makan sendiri, kalau gak mau juga dan masih nangis malah lanjut di tamparin, di tendangin, di pukulin, dihancurin mobil-mobilannya misalnya.

Nah Itu anak kandung aja ada yang dikejemin begitu, apalagi kalo dianggap anak tiri coba.

Tapi.. masih lebih banyak kok orang tua yang sayang sama anaknya. Laper ya di kasih makan. Kesusahan ya dibantuin. Curhat ya di dengerin. Mengeluh ya di kasih arahan. Di elus-elus ya di manjain. Walaupun tetep aja ada yang ngelus-ngelus tulus ada juga yang ngelus-ngelus tapi modus.

nah... itu di atas hanya gambaran.
Ibarat kata, rakyat ini adalah anak dari Pak Presiden.

Rakyat sebenernya gak manja-manja amat tiba-tiba nangis terus minta ini itu. Gak kan? rakyat udah sabar setahun. Dan yang sekarang nangis itupun ya karena ngemis kesejahteraan. Kepada siapa lagi kalo bukan ke "Bapak-nya"?

Tinggal bagaimana type "Bapak" kita sekarang ini.
Apakah seperti yang digambarkan di atas?
Apakah meladeni keluhan anaknya atau acuh?
Atau justru menyuruh anak-anaknya diam dengan memukulinya, dan mencegah agar tak menangis lagi dengan memberikan ultimatum?
Apakah menganggap rakyatnya sebagai anak kandung atau anak tiri?
ya semoga tidak yang buruk-buruk seperti perumpamaan oknum orang tua diatas....

Mungkin yang kejadian kemaren saat rakyat nangis (ada yang sekolah, ada yang udah kerja, sama-sama curhat, menujukkan rasa, saat unjuk rasa), tapi dihadapi dengan kekerasan, kemudian di hari berikutnya diterbitkan ultimatum "HS", peraturan yang berisi penyempitan ruang curhat unjuk rasa dsb, hanyalah ulah oknum..

ya.. mungkin Oknum Presiden, atau oknum Gubernur.

SEJARAH KALENDER HIJRIYAH



Oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Dewan Pembina Konsultasi Syariah

Masyarakat Arab sejak masa silam, sebelum kedatangan Islam, telah menggunakan kalenderqamariyah (kalender berdasarkan peredaran bulan). Mereka sepakat tanggal 1 ditandai dengan kehadiran hilal. Mereka juga menetapkan nama bulan sebagaimana yang kita kenal. Mereka mengenal bulan Dzulhijah sebagai bulan haji, mereka kenal bulan Rajab, Ramadhan, Syawal, Safar, dan bulan-bulan lainnya. Bahkan mereka juga menetapkan adanya 4 bulan suci: Dzulqa’dah, Dzulhijah, Shafar Awal (Muharam), dan Rajab. Selama 4 bulan suci ini, mereka sama sekali tidak boleh melakukan peperangan.

Hanya saja masyarakat jazirah Arab belum memiliki angka tahun. Mereka tahu tanggal dan bulan, tapi tidak ada tahunnya. Biasanya, acuan tahun yang mereka gunakan adalah peristiwa terbesar yang terjadi ketika itu. Kita kenal ada istilah tahun gajah, karena pada saat itu terjadi peristiwa besar, serangan pasukan gajah dari Yaman oleh raja Abrahah. Tahun Fijar, karena ketika itu terjadi perang Fijar. Tahun renovasi Ka’bah, karena ketika itu Ka’bah rusak akibat banjir dan dibangun ulang. Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian tokohnya sebagai acuan, semisal; 10 tahun setelah meninggalnya Ka’ab bin Luai.

Keadaan semacam ini berlangsung terus sampai zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Ketka itu, para sahabat belum memiliki acuan tahun. Acuan yang mereka gunakan untuk menamakan tahun adalah peristiwa besar yang terjadi ketika itu. Berikut beberapa nama tahun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

1. Tahun izin (sanatul idzni), karena ketika itu kaum muslimin diizinkan Allah untuk berhijrah ke Madinah.

2. Tahun perintah (sanatul amri), karena mereka mendapat perintah untuk memerangi orang musyrik.

3. Tahun tamhish, artinya ampunan dosa. Di tahun ini Allah menurunkan firmanNya, ayat 141 surat Ali Imran, yang menjelaskan bahwa Allah mengampuni kesalahan para sahabat ketika Perang Uhud.

4. Tahun zilzal (ujian berat). Ketika itu, kaum muslimin menghadapi berbagai cobaan ekonomi, keamanan, krisis pangan, karena perang khandaq. Dst.

(Arsyif Multaqa Ahlul Hadits, Abdurrahman al-Faqih, 14 Maret 2005)

Sampai akhirnya di zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah. Di tahun ketiga beliau menjabat sebagai khalifah, beliau mendapat sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, yang saat itu menjabat sebagai gubernur untuk daerah Bashrah (Irak). Dalam surat itu, Abu Musa mengatakan:

إنه يأتينا من أمير المؤمنين كتب، فلا ندري على أيٍّ نعمل، وقد قرأنا كتابًا محله شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي

“Telah datang kepada kami beberapa surat dari amirul mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”

Kemudian Umar mengumpulkan para sahabat, beliau berkata kepada mereka:

ضعوا للناس شيئاً يعرفونه

“Tetapkan tahun untuk masyarakat, yang bisa mereka jadikan acuan.”

Ada yang usul, kita gunakan acuan tahun bangsa Romawi. Namun usulan ini dibantah, karena tahun Romawi sudah terlalu tua. Perhitungan tahun Romawi sudah dibuat sejak zaman Dzul Qornain (Mahdhu ash-Shawab, 1:316, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab,  Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)

Kemudian disebutkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Said bin al-Musayib, beliau menceritakan:

Umar bin Khattab mengumpulkan kaum muhajirin dan anshar radhiyallahu ‘anhum, beliau bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun?” Kemudian Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah, meninggalkan negeri syirik.” Maksud Ali adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kemudian Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama (al-Mustadrak 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi).

Mengapa bukan tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi acuan?

Jawabannya disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai berikut:

أن الصحابة الذين أشاروا على عمر وجدوا أن الأمور التي يمكن أن يؤرخ بها أربعة، هي مولده ومبعثه وهجرته ووفاته، ووجدوا أن المولد والمبعث لا يخلو من النزاع في تعيين سنة حدوثه، وأعرضوا عن التأريخ بوفاته لما يثيره من الحزن والأسى عند المسلمين، فلم يبق إلا الهجرة

Para sahabat yang diajak musyawarah oleh Umar bin Khatthab, mereka menyimpulkan bahwa kejadian yang bisa dijadikan acuan tahun dalam kalender ada empat: tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tahun ketika diutus sebagai rasul, tahun ketika hijrah, dan tahun ketika beliau wafat. Namun ternyata, pada tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tahun ketika beliau diutus, tidak lepas dari perdebatan dalam penentuan tahun peristiwa itu. Mereka juga menolak jika tahun kematian sebagai acuannya, karena ini akan menimbulkan kesedihan bagi kaum muslimin. Sehingga yang tersisa adalah tahun hijrah beliau (Fathul Bari, 7:268).

Abu Zinad mengatakan:

استشار عمر في التاريخ فأجمعوا على الهجرة

“Umar bermusyawarah dalam menentukan tahun untuk kalender Islam. Mereka sepakat mengacu pada peristiwa hijrah (Mahdzus Shawab, 1:317, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab,  Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)

Karena hitungan tahun dalam kalender Islam mengacu kepada hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya kalender ini dinamakan Kalender Hijriah.

Setelah mereka sepakat, perhitungan tahun mengacu pada tahun hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya mereka bermusyawarah, bulan apakah yang dijadikan sebagai bulan pertama.

Pada musyawarah tersebut, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengusulkan agar bulan pertama dalam kalender Hijriah adalah Muharam. Karena beberapa alasan:

a. Muharam merupakan bulan pertama dalam kalender masyarakat Arab di masa masa silam.

b. Di bulan Muharam, kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah yang besar yaitu haji ke baitullah.

c. Pertama kali munculnya tekad untuk hijrah terjadi di bulan Muharam. Karena pada bulan sebelumnya, Dzulhijah, beberapa masyarakat Madinah melakukan Baiat Aqabah yang kedua.

(simak keterangan Ibn Hajar dalam Fathul Bari, 7:268)

Sejak saat itu, kaum muslimin memiliki kalender resmi, yaitu kalender hijriyah, dan bulan Muharam sebagai bulan pertama dalam kalender tersebut.

Allahu a’lam.

*Sumber: http://www.konsultasisyariah.com/sejarah-penetapan-kalender-hijriah/

Tanda Ahok Ingkari Kemerdekaan Kita

Oleh John Muhammad*
November 3, 2015 at 5:48am




Hok, gua nulis ini karena gua peduli. Apalagi, kita sama-sama satu almamater. Saling mengingatkan itu perlu. Btw, sori ya, kalo gua pake bahasa begini ke elu. Ini terpaksa. Lu boleh cek semua tulisan gua, kalo gua sebelonnya kaga pernah menulis dengan bahasa seperti ini.

Gua gunain bahasa ini karena inget nasihat teman. Dia bilang begini ke gua: “John, dalam komunikasi itu penting untuk memilih bahasa. Kamu tidak bisa memaksakan berbicara dalam bahasa akademisi pada kelompok tertentu. Begitu pula sebaliknya.” Jadi, gua terpaksa nih pake bahasa begini dengan tujuan supaya lu ngerti.

Sempet kepikir juga untuk nyelipin kata-kata: t**k, bodo amat dan kata-kata lain yang biasa lu gunain selama ini, tapi kata gua kaga perlu deh. Biar elu aja yang kayak gitu. Gua mah kaga bisa.

***

Ok. Langsung aja ya. Gua nanya nih ma elu, hok. Lu pernah demo ga? Waktu 1998, lu ikutan bantuin kita demo ga? Karena lu senior gua di Universitas Trisakti, gua nanya lagi, nih. Waktu kita lagi repot belajar dan membangun demo, sampe adik-adik kita mati, terus sampe kita nginep di MPR/DPR, lu dimana, hok? Jujur deh lu jawab.

Maksud gua nanya gini, biar lu inget dan paham kalo semua demonstrasi yang gua sebutin itu, semuanya ngelanggar aturan. Mulai dari ngomongin politiknya dilarang, mimbar bebasnya dilarang, demonstrasinya yang dilarang, long-marsnya dilarang dan semuanya itu kaga ada yang kaga dilarang. Sampai otopsi pun dilarang. Intinya, kita semua bisa sampai ke hari ini karena ada unjuk rasa yang ga ngikutin aturan di jaman itu. Termasuk elu jadi anggota DPR, Bupati, Wakil Gubernur dan Gubernur karena itu, bro!

Emang sih waktu itu ada UU Nomer 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum - yang dibikin jaman BJ Habibie. Tapi apa respon kita waktu itu? Kaga peduli, coy.

Malah, gua inget bener, waktu kita demo Istana Negara supaya Habibie segera ngadilin Soeharto (2 Desember 1998). Temen-temen gua sampe lompat pager Istana. Sementara temen-temen gua yang lain ngedemo rumahnya Soeharto! Apa hasilnya? Seminggu kemudian, Soeharto untuk pertama kalinya dipanggil Kejaksaan Agung (9 Desember 1998). Emang sih, pemeriksaannya basa-basi. Tapi, segitu aja kita udah seneng banget.  


Jadi asal lu tau aja. Sampai hari ini, itu UU kaga pernah kita peduliin. Kenape? Karena itu UU katrok, hok. Katro sekatronya!

Dari pemilihan lokasi, lu bisa liat UU itu lebih melindungi (bangunan/simbol) negara ketimbang melindungi ekspresi warga. Soal pemberitahuan lagi. Kalo hari ini, Novel Baswedan mau dijemput paksa masak kita kudu nunggu 3 hari, baru boleh belain dia di KPK? Emang lu pikir demo pasti urusannya tolak-menolak doang? Makna “pemberitahuan” di UU itu juga berkali-kali diselewengkan di lapangan sebagai “permohonan ijin”, sehingga justeru mempersulit orang untuk demo. Lu bayangin aje ya, kalo kita dulu kudu jujur mau ngasih ayam betina ke Jaksa Agung (24 November 1998), mana bisa kita dikasih masuk?


Dengan segala masalah itu, eh elu malah jadiin UU ini sebagai rujukan untuk Pergub!

Nah, gua minta lu kaga bawa-bawa soal ketertiban. Karena gua jadi perlu nanya lagi nih. Ketertiban yang kaya gimana, hok? Yang kaya jaman Orba? Atau yang kaya Singapura? Aje gile lu, hok. Yang bener aje. Justeru, kebebasan berekspresi inilah yang membuat kita bangga dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.

Jadi hok, jangan segala jam-lah lu atur-atur, soal tempat dan urusan bising lu atur-atur. Orang demo tuh kaga mungkin subuh-subuh, lagi. Apalagi di Hari-hari Keagamaan. Kalo ada yang demo sampai malem, itu emang udah diniatin pastinya. Biasanya, mereka emang pengin nginep. Lagian yang doyan demo ampe malem dan seneng bentrok, udah jarang. Sebagian gembongnya udah pada jadi anggota DPR dan komisaris, keknya.

Nah, soal tempat. Lu kasih kita cuma tiga: Parkir Timur Senayan, DPR/MPR dan Silang Selatan Monas. Ini ga masuk akal dan cule. Masak kantor lu kaga boleh dijadiin target demo? Kejaksaan Agung, Bunderan Hotel Indonesia, Kantor Freeport, APP, Sinar Mas, Wilmar, Artha Graha dan lainnya kaga boleh juga? Ga sekalian aja, lu taruh kita di Kep. Seribu? Ga boleh juga ya? Soalnya, kita malah ganggu proyek reklamasi lu ya?

Semua bangunan kecuali rumah sakit dan tempat ibadah, kata gua sih sah untuk didemo. Emang lu kaga pernah bayangin kalo buruh pelabuhan pada mogok kerja? Emang itu bukan demo?

Soal kebisingan lain lagi nih. Ngomong-ngomong, lu tau ga 60 dB itu setara apa? Setara orang normal ngobrol, bro. Setara suasana dalam rumah. Atau dibawah ramenya suasana kantor (70 dB) atau suara kemacetan parah di jalan (90 dB). Gua jadi penasaran, demo yang kayak gitu demo apaan, hok?


Hok, tahun 1999, gua pernah bikin tulisan judulnya “Mendemonstrasikan demonstrasi.” Isinya a-z soal merancang demonstrasi. Di situ gua bilang kalo demonstrasi adalah seni menyampaikan pendapat. Tujuannya simpel. Supaya aspirasi dalam demonstrasi itu dipenuhi dan dipertimbangkan. Sudah tentu, kita yang demonstrasi pasti nyari perhatian dan narik simpati.

Ketika demo, kita tuh pasti bersiasat bagaimana cara terbaik untuk diperhatiin dan didengarkan. Kita pengin setiap orang mengetahui pesan kita. Jadi mustahil, kalo lo mau batasin aktivitas demonstran secara kaku.

Lagian, demo tuh macem-macem bentuknya. Ada yang bagi-bagi stiker di jalan, ada yang nginep bikin tenda keprihatinan dan ada yang memang niatnya nerobos barikade penjagaan. Kita yang demo tau kok konsekuensinya. Polisi pun udah paham mana yang demonya reseh, bikin deg-degan sampai yang kalem.

Jadi kaga usah lu ajarin polisi soal beginian. Karena kalau udah masuk kriminal, aturan di KUHP kan bisa dipake. Justeru lo kudu nekenin ke polisi supaya ga pakai senjata api dan senjata tajam dalam menangani demonstran.

Eh, ini malah di Pergub itu lu ngebolehin tentara ikut-ikutan. Wah, ini mah beneran Orde Baru!      

Lu lagi pake alesan demo bikin macet. Itu alesan klise, hok. Macet mah itu masalah gimana elu ngurus transportasi massal ajah. Itu makanya gua nolak proyek 6 ruas jalan tol, karena justeru nambah kendaraan pribadi. Itu kan solusi gua buat elu. Tapi ya itu, lu kaga mau denger.

Dan elu, hok jangan juga pake alesan ganggu pembangunan ya. Kaga ada urusannya tuh, investasi ma demonstrasi. Asal tau aja, jaman kita pada demo dari yang tiap hari sampe seminggu sekali, rupiah berkisar Rp. 8000,- s/d Rp. 8500,- kok!


Buat gua, tertib dan keteraturan kepada rakyat itu cuma cermin, hok. Cermin dari pengurusnya (pemerintahnya). Justeru, demonstrasi adalah indikator bahwa dialog antara warga dan pengurusnya sedang berlangsung secara dinamis. Jadi, kalo lu mulai kebanjiran demonstrasi, justeru lu kudu ngaca dan evaluasi. Karena pasti deh ada yang kaga bener. Entah itu, “kaga bener” yang dateng dari luar maupun “kaga bener” yang dateng dari dalem kepengurusan elu.

***

Sekarang, gua malah jadi mikir. Jangan-jangan lu emang kaga demen ma demonstrasi ya? Wah, kalo udah begini, lu kudu introspeksi. Jangan-jangan lu punya sindrom diktator, otoriter, lalim dan segala turunannya? Amit-amit, hok.

Tapi, kalau bener lu begitu orangnya, tenang aja, hok. Gua ga bakal jatuhin atau mundurin lu sekarang ini. Gua kaga mau ngikutin taktik lu: main korban-korbanan atau sengaja dijatuhin biar nanti dikenang. Kalau emang bener lu begitu orangnya, mending gua biarin lu lapuk sampai pilkada taun depan.

***

Hok, jelas ya. Gua ga bakal peduliin Pergub No. 228/2015 lu itu. Jadi terserah elu. Mau lu cabut bagus. Ga lu cabut pun pasti gua cuekin. Ini namanya civil disobedience: pembangkangan sipil. Ngarti?

Gitu aja ya, hok. Semoga tulisan berjudul T. *. *. K. K. ini bisa lo pahamin.

*Sumber: notes fb John Muhammad

Membaca Fenomena Keberanian 'Menyerang' Islam Secara Terang-terangan

Oleh Chandra HafizunAlim

Akhir-akhir ini sering saya dapatkan komentar orang-orang kafir di situs-situs Islam. Mereka sudah tidak sembunyi-sembunyi lagi mengutarakan opini mereka ditengah kaum muslimin. Padahal apa yang mereka komentari tidak ada sangkut pautnya dengan mereka secara langsung. Mereka mengutarakan ketidaksukaan dan ejekan pada syariat Islam, para pejuang syariat, ulama, dan orang-orang saleh. Bahkan di antara mereka ada yang berani menyamar sebagai ustadz, ada koordinator JASMEV yang memakai jilbab padahal orang kafir. Fenomena apakah ini?

Terus terang selama bertahun-tahun saya berselancar di internet, baru beberapa bulan terakhir ini saja saya merasakan serangan mereka begitu masif. Tapi saya punya pendapat yang mungkin salah, mungkin benar. Pendapat saya, fenomena ini terjadi karena:

Pertama, mulai bermunculannya kasus korupsi yang melibatkan petinggi PKS. Kondisi ini mengakibatkan tergerusnya pengaruh positif politik Islam secara umum ditengah masyarakat. Karena saat ini ada anggapan bahwa satu-satunya partai Islam yang real adalah PKS, maka ketika PKS menjadi negatif, otomatis politik Islam akan menjadi negatif. Orang-orang kafir menggunakan situasi ini untuk kepentingan mereka; mempengaruhi opini publik bahwa Islam itu buruk.

Kedua, kemenangan Jokowi-Ahok di pilgub DKI lalu kemenangan Jokowi-JK di pilpres adalah dua kemenangan yang beruntun terjadi. Dua kemenangan ini dipercaya atau tidak adalah dua kemenangan yang sangat disukai oleh kelompok sekuler dan kaum kafirin. Berkat dua kemenangan ini mereka seolah mempunyai alasan untuk berani berbicara lebih lantang tanpa perlu takut lagi karena masyarakat sudah berubah.

Ketiga, Gubernur DKI orang kafir ditengah mayoritas muslim. Dia ngomong kasar, menjelek-menjelekkan ajaran Islam, umat Islam marah-marah toh ternyata tidak mempengaruhi Ahok. Ahok cuek saja. Orang-orang kafir sepertinya mengikuti jejak Ahok ini. Mereka menjelek-jelekkan Islam, umat Islam paling cuma bisa marah. Elit politiknya sudah lemah atau bila bersuara pun mereka akan dibully karena adanya kasus pertama di atas. Anehnya sebagian umat Islam malah ikut-ikutan membully. Sepertinya mereka terpengaruh dengan opini yang diciptakan oleh orang sekuler dan orang kafir.

Keempat, gencarnya syiar sekularisme dan kristenisasi. Sekularisme dan kristenisasi adalah dua hal yang seiring sejalan merusak dan melemahkan akidah umat Islam. Tokoh penting yang mengobarkan Ghazwul Fikr (perang pemikiran) terhadap umat Islam, yaitu Samuel Zwemer, adalah seorang pendeta. Berdasarkan data yang saya peroleh, dalam prosentase jumlah umat Islam di Indonesia terus berkurang dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil riset Yayasan Al Itsar Al Islam (Magelang) pada tahun 1999-2000 umat Kristen dan Katolik di Jateng telah meningkat dari 1-5%, kini naik drastis 20-25% dari total jumlah penduduk Indonesia. Dari laporan Riset Dep. Dokumentasi dan Penerangan Majelis Agama Wali Gereja Indonesia, sejak tahun 1980-an setiap tahunnya laju pertumbuhan umat Khatolik: 4,6%, Protestan 4,5%, Hindu 3,3%, Budha 3,1% dan Islam hanya 2,75%. Dalam Kiblat Garut 26 Juni 2012 disebutkan, semula umat Islam di Indonesia mencapai 95% kini anjlok menjadi 85%.

Kelima, melihat begitu masifnya serangan musuh-musuh Islam terhadap Islam dan umatnya, kemungkinan besar terorganisir dengan baik. Mereka menciptakan akun-akun kloningan untuk membentuk opini yang buruk tentang Islam. Mereka adalah Troll internet. Troll internet adalah kelompok pengguna internet yang biasanya masuk ke sebuah diskusi tentang suatu topik dengan tujuan mengacaukan diskusi tersebut, baik dengan tiba-tiba memaki dan berkata kasar sehingga memancing keributan atau berpura-pura bego. Troll sebenarnya sudah ada sejak dunia message board ada di internet, namun salah satu troll bayaran pertama di Indonesia atau troll profesional adalah Jasmev. Beberapa hari yang lalu akun facebook milik Ridwan Kamil diblokir facebook setelah sebelumnya beliau mengungkapkan fakta tentang sungai epicentrum yang diklaim pendukung Ahok adalah buatan Ahok.

Bersambung.....

*Sumber: https://www.facebook.com/chandra.hafizunalim/posts/1939869502904214