Senin, 12 Oktober 2009

Menyantuni Dengan Lebih Bijak dan Bertanggung Jawab

Indonesia... Negaraku ini sungguh besar, membanggakan dan tidak terlalu buruk bagi saya yang memang sangat mencintainya. Keindahan dimana-mana, kekayaan melimpah, dan penghuni yang ramah. Secara global dan jujur itulah ungkapan saya untuk Indonesia kita tercinta ini.
Lepas dari kebanggaan itu, saya yang sudah tinggal kurang lebih 3 tahun di salah satu kota besar di Indonesia ini, kadangkala merasa miris. Ya, miris sekali ketika harus menyaksikan di perempatan, lampu merah, trotoar, pinggiran toko, dan tempat keramaian lainnya, ternyata Indonesiaku ini kaya juga akan 'Gepeng' (Gelandangan & Pengemis).
Bahkan 80% dari mata awam saya melihat, diantaranya adalah anak-anak yang seharusnya ada dalam masa belajar . Jika kita saksikan vidio klip yang "diputar live" secara gratis mengenai Gepeng  dunia nyata disekitar kita, apa yang anda rasakan? Adegan ketika seorang kakek yang duduk di pinggir pagar, penuh dengan perban luka, tanpa sebelah kaki, kemudian hanya dengan satu tangan menengadah meminta belas kasihan, sementara tangan yang lain membantu menopang tubuhnya, namun kebanyakan yang lewat tak mengacuhkan, apa yang anda rasakan? Kemudian dilain scene ada seorang anak yang belum sempat mandi sudah berjuang berjubel masuk dalam bus-bus karyawan meneriakkan lagu-lagu yang sudah terhafalkan dengan cerdasnya, melebihi anak-anak sekolahan walau hanya diiringi rangkaian tutup botol bekas. Dilain sisi dalam scene yang lain lagi dengan lebih extreme, dua anak yang mungkin kakak adik itu, nekat berjalan di kerumunan kendaraan bermotor di perempatan yang penuh sesak, yang satu menggandeng yang lain, kemudian dengan memelas berkata, "kasihan om, kasihan tante, kasihan bu, kasihan pak". Pernahkah anda mendengarnya dekat dengan telinga anda?

Selama tiga tahun saya sering memperhatikan, Sang Pengemis memang menjadikan "ngemis" itu sebagai pekerjaannya. Anak-anak Gepeng itu juga nampaknya tanpa beban melakukan aktivitas kesehariannya itu bagaikan tanpa beban, namun tanpa bisa kita pungkiri tergambar jelas mendung menghadang cerah hari mereka di kemudian nanti.

Lalu apa solusi kita?
dengan ikhlas tergerak memberi? itu pasti menurut saya. Tapi tunggu sebentar, banyak loh orang yang cuek. Lalu apa mereka yang acuh, tanpa memandang, tanpa menghiraukan dan hanya berlalu melewati mereka kemudian bisa dikatakan tidak punya hati nurani kecil yang tergerak? jawabannya belum tentu.
Ya belum tentu mereka itu tidak tergerak hatinya melihat klip video atau scene yang memilukan, yang jauh dari kemapanan posisi mereka yang masih bisa kerja di kantoran, di toko, atau penjaga warteg. Lalu apa yang bisa kita maklumi dari mereka yang mengacuhkan? Bisa saja sebagian mereka yang mengacuhkan itu adalah orang yang menyantuni dengan lebih bijak.
Oke-lah jikalau hanya sekali dua kali scene / klip vidio itu kita lihat lalu kita berempati itu wajar. Namun jika kondisinya adalah scene yang sama , klip yang sama kita lihat setiap hari. Empati yang kita berikan dimanfaatkan setiap hari sebagai lahan pencaharian mereka, tempat bergantung dan menjadi mapan dengan mengharapkan empati, tentu bukanlah sebuah pemecahan yang final. Scene-scene semacam itu tentu harus kita putus, klip-klip yang memilukan namun penuh sandiwara itu tentu harus perlahan kita hapus. Dengan tidak memberi kita bisa menyantuni mereka dengan lebih bijak. Kita tidak memanjakan dengan kemapanan dan pengharapan empati setiap hari bagi mereka. Dengan demikian kita bisa menghambat pertumbuhan Gepeng di Indonesia kita tercinta ini.

Dari sudut pandang penulis menyimpulkan, kita bisa menghentikan budaya mengemis dengan berhenti memanjakan mereka. Kita harus bedakan orang yang meminta-minta karena memang butuh (wajib hukumnya kita tolong bila kita mampu) atau mereka yang meminta-minta sebagai mata pencaharian yang tidak perlu kita manjakan. Mungkin alasan inilah juga yang memaksa pemerinta bertindak keras bukan hanya bagi pengemis, tapi juga bagi para pemberi simpati. Sebagai warga negara yang baik tentu kita bisa memahami bahwa setiap pasal yang diputuskan tentunya sudah di musyawarahkan demi kemaslahatan seluruh penduduk negeri tak terkecuali pengemis itu sendiri. Keseriusan ini sudah nampak dan terbukti dengan munculnya Perda (Peraturan Daerah) Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Pada pasal 40 disebutkan :
Setiap orang atau badan dilarang :
a. menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil.
b. menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil.
c. membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil.
Sedangkan ketentuan pidananya tercantum di Pasal 61.
Dengan peraturan seperti ini mungkin bagi sebagian kalangan akan menimbulkan kontra. Tak dipungkiri memang hak kita untuk bersedekah kapan saja, dimana saja, kepada siapa saja. Namun jika kondisinya sudah sampai membangun mental-mental yang salah, tentulah harus diluruskan. Pemerintah sudah mengupayakan itu, Jadi, mari kita dukung demi terciptanya cita-cita bangsa yang menyejahterakan kehidupan bangsa, bukan memanjakan anak-anak bangsa secara klise!

Banyak hal lain yang lebih nyata dan lebih mengena jika kita berniat menyisihkan sebagian harta kita dengan jaminan yang lebih tercerahkan penggunaannya. Seperti :
Langsung kepada yayasan / Lembaga yang mengurusi orang-orang Lansia, yatim piatu, rumah zakat, pondok pesantren. Kenapa? Lembaga tersebut tentu penggunaannya sudah jelas bukan untuk pribadi, tapi untuk kemaslahatan seluruh anggotanya. Jika yayasan terbantu, dengan pembiayaan yang lancar dan memadai, banyak Gepeng yang bisa dimasukkan ke yayasan - yayasan tersebut.

Dengan begitu bantuan anda lebih bijak dan bertanggung jawab. Live Borderlles !!